PPENGERTIAN MAZHAB DAN SEJARAH MUNCULNYA
Menurut Bahasa mazhab berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang
menunjukkan tempat) yang diambil dari fiil madhi dzahaba yang
berarti pergi.Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga
berarti al-rayu yang
artinya pendapat.
Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran
atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau
mengistinbatkan hukum Islam. Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang
pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam
Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum
Islam.
Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid
dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Quran dan hadis.
Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu
peristiwa yang diambil dari al-Quran dan hadis.
Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih.
Menurut Ahmad Satori Ismail , para ahli
sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada
kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya
mazhab-mazhab yang pernah ada.
Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, maka hanya beberapa mazhab
saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi,
mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang hanya tujuh mazhab saja yaitu
: mazhab hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah dan Ibadiyah.
Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.
2. BIOGRAFI TOKOH-TOKOH MAZHAB TERMAYSUR
1. Biografi Imam Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi, lebih dikenal dengan
nama Abu Ḥanifah, (lahir di
Kufah, Irak pada 80 H / 699 M — meninggal di Baghdad, Irak, 148 H / 767 M)
merupakan pendiri dari Madzhab Hanafi . Abu Hanifah juga merupakan seorang
Tabi’in, generasi setelah Sahabat nabi, karena dia pernah bertemu dengan salah
seorang sahabat bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan hadis darinya serta
sahabat lainnya.Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun
kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah),
salat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti
Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.
Masa menuntut ilmu Abu Hanifah
Sebagaimana
putra seorang pedagang, Abu Hanifah pun kemudian berprofesi seperti bapaknya.Ia
mendapat banyak keuntungan dari profesi ini. Di sisi lain ia memiliki wawasan
yang sangat luas, kecerdasan yang luar biasa, serta hafalan yang sangat kuat.
Beberapa ulama dapat menangkap fenomena ini, sehingga mereka menganjurkannya
untuk pergi berguru kepada ulama seperti ia pergi ke pasar setiap hari.
Pada masa Abu Hanifah menuntut ilmu, Iraq termasuk Kufah disibukkan dengan tiga halaqah keilmuan.Pertama,
halaqah yang membahas pokok-pokok aqidah. Kedua, halaqah yang membahas tentang
Hadits Rasulullah metode
dan proses pengumpulannya dari berbagai negara, serta pembahasan dari perawi
dan kemungkinan diterima atau tidaknya pribadi dan riwayat mereka. Ketiga,
halaqah yang membahas masalah fikih dari Al-Qur'an dan Hadits,
termasuk membahas fatawa untuk menjawab masalah-masalah baru yang muncul saat
itu, yang belum pernah muncul sebelumnya.
Abu Hanifah melibatkan
diri dalam dialog tentang ilmu kalam, tauhid dan metafisika. Menghadiri kajian
hadits dan periwayatannya, sehingga ia mempunyai andil besar dalam bidang ini.
Setelah Abu Hanifah
menjelajahi bidang-bidang keilmuan secara mendalam, ia memilih bidang fikih
sebagai konsentrasi kajian. Ia mulai mempelajari berbagai permasalahan fikih
dengan cara berguru kepada salah satu Syaikh ternama
di Kufah, ia terus menimba ilmu darinya hingga selesai. Sementara Kufah saat
itu menjadi tempat domisili bagi ulama fikih Iraq.
Abu Hanifah sangat
antusias dalam menghadiri dan menyertai gurunya, hanya saja ia terkenal sebagai
murid yang banyak bertanya dan berdebat, serta bersikeras mempertahankan
pendapatnya, terkadang menjadikan syaikh kesal padanya, namun karena
kecintaannya pada sang murid, ia selalu mencari tahu tentang kondisi
perkembangannya. Dari informasi yang ia peroleh, akhirnya sang syaikh tahu
bahwa ia selalu bangun malam, menghidupkannya dengan shalat dan tilawah
Al-Qur'an. Karena banyaknya informasi yang ia dengar maka syaikh menamakannya
Al-Watad.
Selama 18 tahun, Abu Hanifah berguru kepada Syaikh
Hammad bin Abu Sulaiman, saat itu ia masih 22 tahun. Karena dianggap telah
cukup, ia mencari waktu yang tepat untuk bisa mandiri, namun setiap kali
mencoba lepas dari gurunya, ia merasakan bahwa ia masih membutuhkannya.
Wafatnya
Imam Hanafi
Pada
suatu hari ia terkena penyakit, semakin lama semakin parah. Akhirnya ia wafat
pada usia 68 tahun. Berita kematiannya segera menyebar, ketika Khalifah
mendengar berita itu, ia berkata, "Siapa yang bisa memaafkanku darimu
hidup maupun mati?" Salah seorang ulama Kufah berkata, "Cahaya
keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat
ulama sekaiber dia selamanya." Yang lain berkata, "Kini mufti dan
fakih Irak telah tiada."
Jasadnya dikeluarkan
dipanggul di atas punggung kelima muridnya, hingga sampai tempat pemandian, ia
dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah, sementara Al-Harawi yang menyiramkan air
ke tubuhnya. Ia disalatkan lebih dari 50.000 orang. Dalam enam kali putaran
yang ditutup dengan salat oleh anaknya, Hammad.Ia tak dapat dikuburkan kecuali
setelah salat Ashar karena sesak, dan banyak tangisan. Ia berwasiat agar
jasadnya dikuburkan di Kuburan Al-Khairazan, karena merupakan tanah kubur yang
baik dan bukan tanah curian.[1]
2. Biografi Imam Malik
Abu
abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman
bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah
al Munawwaroh.sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan
riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik
dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam malik
dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam
al-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir
meriwayatkan bahwa ia mendengar malik berkata :”aku dilahirkan pada 93 H”. dan
inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam’ani dan ibn farhun).
Kitab Yang dikarang Oleh Imam Malik
Ia menyusun kitab Al Muwaththa’, dan
dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia
menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Kitab tersebut menghimpun 100.000
hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu
naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal
hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al
Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber
sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al
Muwaththa’.Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al
Muwaththa’.Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata,” Al Muwaththa’
adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui bandingannya.
Hadits-hadits
yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal,
mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits
musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping
itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan
“ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur
jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar
an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits
mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari. Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq. Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al Muwatta.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari. Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq. Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al Muwatta.
Guru Imam Malik
Di antara guru beliau
adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir
bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.Di
antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb,
Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya
al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats
Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi,
dan lain-lain.
Wafatnya Imam Malik
Imam malik jatuh sakit
pada hari ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10 hari setelah itu
ia wafat. sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal 179 H.
Sahnun meriwayatkan dari abdullah bin nafi’:” imam malik wafat pada usia 87
tahun” ibn kinanah bin abi zubair, putranya yahya dan sekretarisnya hubaib yang
memandikan jenazah imam Malik. imam Malik dimakamkan di Baqi’.
3. Biografi Imam Syafi’i
Abu
ʿAbdulah Muhammad bin Idris al-Shafiʿi atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i yang
akrab dipanggil Imam Syafi’i (Gaza, Palestina, 150 H / 767 – Fusthat, Mesir
204H / 819M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab
Syafi’i. Imam Syafi’i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam
Bani Muththalib, yaitu keturunan dari abd-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang
merupakan kakek Muhammad.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
- Masa Belajar Imam Syafi’i
o Mekah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di
sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah
ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan
taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah
menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih
dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji
yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.Kemudian dia juga belajar dari
Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama
Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.Guru
yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin
Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun
semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di
berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.
o Belajar di Madinah
Kemudian dia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada
Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan
menghafalnya dalam 9 malam.Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin
Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain. Di
majelis dia ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang
kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ .Kecerdasannya membuat Imam Malik
amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat
mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Dia menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam
dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin
Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga dia
menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik
di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Dia juga sangat
terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga dia menyatakan: “Tidak
ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab
Al-Muwattha’ .” Dia juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik,
kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan dia di atas dapatlah
diketahui bahwa guru yang paling dia kagumi adalah Imam Malik bin Anas,
kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk
menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti
Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz
Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi
Yahya. Tetapi sayang, guru dia yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta
dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab
Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal
lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai
Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat dia, dia tidak mau lagi menyebut nama
Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
- Wafatnya Imam Syafi’i
Pada suatu hari, Imam
Syafi'i terkena wasir, dan tetap begitu hingga terkadang jika ia naik kendaraan
darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaus kakinya.
Wasir ini benar-benar menyiksanya selama hampir empat tahun, ia menanggung
sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan empat ribu lembar.
Selain itu ia terus mengajar, meneliti dialog serta mengkaji baik siang maupun
malam.
Pada suatu hari
muridnya Al-Muzani masuk menghadap dan berkata, "Bagamana kondisi Anda
wahai guru?"Imam Syafi'i menjawab, "Aku telah siap meninggalkan
dunia, meninggalkan para saudara dan teman, mulai meneguk minuman kematian,
kepada Allah dzikir terus terucap. Sungguh, Demi Allah, aku tak tahu apakah
jiwaku akan berjalan menuju surga sehingga perlu aku ucapkan selamat, atau
sedang menuju neraka sehingga aku harus berkabung?".
Setelah itu, dia
melihat di sekelilingnya seraya berkata kepada mereka, "Jika aku
meninggal, pergilah kalian kepada wali (penguasa), dan mintalah kepadanya agar
mau memandikanku," lalu sepupunya berkata, "Kami akan turun sebentar
untuk salat." Imam menjawab, "Pergilah dan setelah itu duduklah
disini menunggu keluarnya ruhku." Setelah sepupu dan murid-muridnya salat,
sang Imam bertanya, "Apakah engkau sudah salat?" lalu mereka
menjawab, "Sudah", lalu ia minta segelas air, pada saat itu sedang
musim dingin, mereka berkata, "Biar kami campur dengan air hangat,"
ia berkata, "Jangan, sebaiknya dengan air safarjal". Setelah itu ia
wafat. Imam Syafi'i wafat pada malam Jum'at menjelang subuh pada hari terakhir
bulan Rajab tahun 204 Hijriyyah atau tahun 809 Miladiyyah pada usia 52 tahun.
Tidak lama setelah
kabar kematiannya tersebar di Mesir hingga kesedihan dan duka melanda seluruh
warga, mereka semua keluar dari rumah ingin membawa jenazah di atas pundak,
karena dahsyatnya kesedihan yang menempa mereka.Tidak ada perkataan yang
terucap saat itu selain permohonan rahmat dan ridha untuk yang telah pergi.
Sejumlah ulama pergi
menemui wali Mesir yaitu Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam, memintanya datang
ke rumah duka untuk memandikan Imam sesuai dengan wasiatnya. Ia berkata kepada
mereka, "Apakah Imam meninggalkan hutang?", "Benar!" jawab
mereka serempak. Lalu wali Mesir memerintahkan untuk melunasi hutang-hutang
Imam seluruhnya. Setelah itu wali Mesir memandikan jasad sang Imam.
4. Biografi Imam Hambali
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin
Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah
adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri
Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota
Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau
dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling
masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau
baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan
dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian
bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut
merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah
seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak
yatim.Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy,
berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau.Untungnya, sang ayah meninggalkan
untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati
sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat
murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam
Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi.
Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan
kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu,
kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan
manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan
beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para
sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di
al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke
ad-Diwan.Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak
mudah goyah.Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat.Tidak
lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri,
terutama dalam masalah kesehatan.Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang
aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi
Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu.Tunggu sampai
adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil
hadits dari para perawinya.Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya
beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu
Hanifah.
Wafatnya Imam Hambali
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan
hari.Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka
berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan
orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal
12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang
telah dientukan kepadanya.
Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau.Tak
sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang.
Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang,
bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya.
Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu
demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau.Beliau pernah
berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan
antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami”.
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat
bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang
yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika
sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran.
Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu,
maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan
teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam
Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki,
tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat
orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin
Hanbal pada Yaumul Mihnah”.
SSEBAB-SEBAB TERJADINYAPERBEDAAN MAZHAB
Perbedaan
antara madzhab fiqh dalam Islam merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat
Islam.Khazanah kekayaan syariat yang besar ini adalah kebanggaan dan izzah bagi
umatnya.Perbedaan fuqaha hanya terjadi dalam masalah-masalah cabang dan ijtihad
fiqh, bukan dalam masalah inti, dasar dan akidah.
Tak pernah kita dengar
dalam sejarah Islam, perbedaan fiqh antara madzhab menyeret mereka kepada
konflik bersenjata yang mengancam kesatuan umat Islam.Sebab perbedaan mereka
dalam masalah parsial yang tidak membahayakan.Perbedaan dalam masalah akidah
sesungguhnya yang dicela dan memecah belah umat Islam serta melemahkan
eksistensinya.Pangkal perbedaan ulama adalah tingkat berbeda antara pemahaman
manusia dalam menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum, menangkap
rahasia syariat dan memahami illat hukum.
Semua ini tidak
bertentangan dengan kesatuan sumber syariat. Karena syariat Islam tidak saling bertentangan satu sama lainnya.
Perbedaan terjadi karena keterbatasan dan kelemahan manusia.Meski demikian
tetap harus beramal dengan salah satu pendapat yang ada untuk memudahkan
manusia dalam beragama sebab wahyu sudah terputus.
Namun
bagi seorang mujtahid ia mesti beramal dengan hasil ijtihadnya sendiri
berdasarkan interpretasinya (dhzan) yang terkuat menurutnya terhadap
makna teks syariat. Karena
interpretasi ini yang menjadi pemicu dari perbedaan. Rasulullah saw bersabda,
”Jika seorang mujtahid berijtihad, jika benar ia mendapatkan dua pahala dan
jika salah dapat satu pahala, ”Kecuali jika sebuah dalil bersifat qathi’ (pasti)
dengan makna sangat jelas baik dari Al-Quran, Sunnah mutawatir atau hadis Ahad
Masyhur maka tidak ruang untuk ijtihad.
Adapun
sebab perbedaan ulama dalam teks yang bersifat dhzanni (lawan
dari qathi) atau yang lafadlnya mengandung kemungkinan makna lebih dari satu
adalah sebagai berikut:
1.
Perbedaan Makna Lafadz Teks Arab.
Perbedaan
makna ini bisa disebabkan oleh lafadl tersebut umum (mujmal) atau lafadl yang
memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadl memiliki
arti umum dan khusus, atau lafadl yang memiliki makna hakiki atau makna menurut
adat kebiasaan, dan lain-lain. Contohnya, lafadlquru’ memiliki dua
arti; haid dan suci (Al-Baqarah:228). Atau lafadl perintah (amr) bisa bermakna
wajib atau anjuran.Lafadl nahy; memiliki makna larangan yang haram atau makruh.
2.
Perbedaan Riwayat
perbedaan riwayat hadis. Faktor
perbedaan riwayat ada beberapa, di antaranya:\
-
Hadis itu diterima (sampai) kepada
seorang perawi namun tidak sampai kepada perawi lainya:
-
sampai kepadanya namun jalan perawinya
lemah dan sampai kepada lainnya dengan jalan perawi yang kuat.
-
sampai kepada seorang perawi dengan satu
jalan; atau salah seorang ahli hadis melihat satu jalan perawi lemah namun yang
lain menilai jalan itu kuat.
-
dia menilai tak ada penghalang untuk
menerima suatu riwayat hadis. Perbedaan ini berdasarkan cara menilai layak
tidaknya seorang perawi sebagai pembawa hadis.
-
sebuah hadis sampai kepada seseorang
dengan jalan yang sudah disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang
syarat-syarat dalam beramal dengan hadis itu.
3.
Perbedaan Sumber-sumber Pengambilan
Hukum
Ada
sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat,
istishab, saddu dzarai’ dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber
tersebut.
4.
Perbedaan Kaidah Usul Fiqh
Seperti
kaidah usul fiqh yang berbunyi "Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi
hujjah (pegangan)", "mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak
dijadikan dasar", "tambahan terhadap nash quran dalam hukum adalah
nasakh (penghapusan)" kaidah-kaidah ini menjadi perbedaan ulama.
4. Sikap Toleransi Terhadap Perbedaan Pendapat
Banyak
sekali ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang melarang perpecahan (iftiraq) dan
perselisihan (ikhtilaf), namun apabila kita mencermati, akan tampak oleh kita
bahwa yang dimaksud adalah berbeda pendapat dalam masalah-masalah prinsip atau
Ushul yang berdampak kepada perpecahan. Adapun berbeda pendapat dalam
masalah-masalah cabang agama atau Furu’, maka hal ini tidaklah tercela dan
tidak boleh sampai berdampak atau berujung pada perpecahan, karena para sahabat
juga berbeda pendapat akan tetapi mereka tetap bersaudara dan saling
menghormati satu dengan yang lain tanpa saling menghujat atau melecehkan dan
menjatuhkan.
Yang menarik, dalam
mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui
secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan
objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al
Quran dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran
dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip
relativitas pengetahuan manusia.Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah.
Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah
sehingga wajib untuk diikuti, dan menolak pendapat lain sehingga menganggapnya
sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama.
“Pendapatku benar, tapi memiliki
kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki
kemungkinan untuk benar.” Demikian ungkapan dari Imam Syafi’i.
Dalam kerangka yang
sama, Imam Ahmad bin Hambal pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca
basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini
bertentangan dengan mazhab Ahmad bin Hambal sendiri yang menyatakan bahwa yang
dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi
fatwa tersebut dikeluarkan Ahmad demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah
waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama Madinah itu,
orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya. Di sini
kita bisa mengetahui betapa Imam Ahmad lebih mengutamakan sebuah esensi dari
nilai Ukhuwah.
Ada ungkapan yang cukup
indah dari Muhammad Rasyid Ridha, “Marilah kita tolong menolong
pada perkara yang kita sepakati, dan mari kita saling menghargai pada perkara
yang kita perselisihkan.”
0 komentar:
Posting Komentar